Dalam belajar diperlukan aktivitas karena pada prinsipnya belajar adalah berbuat. Tidak ada belajar jika tidak ada aktivitas (Sardiman, 2010: 96). Karena itulah, aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting di dalam interaksi belajar-mengajar. Frobel dalam Sardiman (2010: 96) mengatakan bahwa dalam dinamika kehidupan manusia, berpikir dan berbuat sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Begitu juga dalam belajar tidak mungkin meninggalkan dua kegiatan tersebut. Ilustrasi ini menegaskan bahwa dalam belajar sangat memerlukan kegiatan berpikir dan berbuat.
Montessori dalam Sardiman (2010: 96) menyatakan bahwa anak-anak memiliki tenaga-tenaga untuk berkembang sendiri dan membentuk sendiri. Pendidik akan berperan sebagai pembimbing dan mengamati bagaimana perkembangan peserta didiknya. Pernyataan Montessori ini memberikan petunjuk bahwa yang lebih banyak melakukan aktivitas di dalam pembentukan diri adalah peserta didik itu sendiri, sedangkan pendidik memberikan bimbingan dan merencanakan segala kegiatan yang akan diperbuat oleh peserta didik.
Rousseau menjelaskan bahwa segala pengetahuan harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, dan penyelidikan sendiri (Sardiman, 2010: 96-97). Penjelasan ini menunjukkan bahwa setiap orang yang belajar harus aktif sendiri karena tanpa adanya aktivitas, proses belajar tidak mungkin terjadi.
Berdasarkan pendapat dari berbagai ahli tersebut di atas, jelas bahwa dalam kegiatan belajar, peserta didik harus aktif berbuat. Dengan kata lain, dalam proses pembelajaran sangat diperlukan adanya aktivitas. Tanpa aktivitas, proses pembelajaran tidak mungkin berlangsung dengan baik.
Aktivitas belajar memiliki beberapa prinsip. Prinsip-prinsip aktivitas belajar dalam hal ini akan dilihat dari sudut pandang perkembangan konsep jiwa menurut ilmu jiwa. Dengan melihat unsur kejiwaan seorang peserta didik, maka dapat diketahui bagaimana prinsip aktivitas yang terjadi dalam belajar. Karena dilihat dari sudut pandang ilmu jiwa, maka yang menjadi fokus perhatian adalah komponen manusiawi yang melakukan aktivitas dalam pembelajaran, yaitu peserta didik dan guru. Berdasarkan sudut pandang ilmu jiwa, aktivitas belajar dibagi menjadi dua pandangan yaitu Ilmu Jiwa Lama dan Ilmu Jiwa Modern.
a. Prinsip-Prinsip Aktivitas Belajar menurut Pandangan Ilmu Jiwa Lama
John Locke dengan konsepnya Tabularasa, mengibaratkan jiwa seseorang bagaikan kertas putih yang tidak bertulis (Sardiman, 2010: 97-98). Kertas putih ini kemudian akan mendapatkan coretan atau tulisan dari luar. Terserah kepada unsur dari luar yang menulis, akan ditulisi merah atau hijau, kertas itu akan bersifat reseptif. Konsep semacam ini kemudian ditransfer ke dalam dunia pendidikan.
Peserta didik diibaratkan kertas putih sedangkan unsur dari luar yang menulisi adalah guru. Dalam hal ini terserah kepada guru, akan dibawa ke mana, peserta didik akan diapakan, karena guru adalah yang memberi dan mengatur isinya. Dengan demikian, aktivitas didominasi oleh guru sedangkan peserta didik bersifat pasif dan menerima begitu saja.
Herbert dalam Sardiman (2010: 98) memberikan rumusan bahwa jiwa adalah keseluruhan tanggapan yang secara mekanis dikuasai oleh hukum-hukum asosiasi atau dengan kata lain dipengaruhi oleh unsur-unsur dari luar. Relevansinya dengan konsep John Locke, bahwa guru pulalah yang paling aktif, yakni menyampaikan tanggapan-tanggapan itu. Peserta didik dalam hal ini pasif, secara mekanis hanya menuruti alur dari hukum-hukum asosiasi tadi. Jadi peserta didik kurang memiliki aktivitas dan kreativitas.
Mengkombinasikan dua konsep yang dikemukakan John Locke maupun Herbert, berarti dalam proses pembelajaran guru akan senantiasa mendominasi kegiatan, peserta didik terlalu pasif, guru aktif, dan segala inisiatif datang dari guru. Peserta didik ibarat botol kosong yang diisi air oleh sang guru. Gurulah yang menentukan bahan dan model sedangkan peserta didik menerima begitu saja. Aktivitas peserta didik terutama terbatas pada mendengarkan, mencatat, menjawab pertanyaan bila guru memberikan pertanyaan. Para peserta didik hanya bekerja atas perintah guru, menurut cara yang ditentukan guru, begitu juga berpikir menurut yang digariskan oleh guru. Memang sebenarnya peserta didik tidak pasif secara mutlak, namun proses pembelajaran semacam ini tidak mendorong peserta didik berpikir dan beraktivitas. Guru lebih banyak beraktivitas dan guru dapat menentukan segala sesuatu yang dikehendaki.
b. Prinsip-Prinsip Aktivitas Belajar menurut Pandangan Ilmu Jiwa Modern
Pandangan ilmu jiwa modern menerjemahkan manusia sebagai sesuatu yang dinamis, memiliki potensi, dan energi sendiri (Sardiman, 2010: 99). Oleh karena itu, secara alami peserta didik juga dapat menjadi aktif karena adanya motivasi dan didorong oleh bermacam-macam kebutuhan. Peserta didik dipandang sebagai organisme yang mempunyai potensi untuk berkembang. Oleh sebab itu, tugas pendidik adalah membimbing dan menyediakan kondisi agar peserta didik dapat mengembangkan bakat dan potensinya. Dalam hal ini, peserta didiklah yang beraktivitas, berbuat, dan harus aktif sendiri.
Aktivitas belajar meliputi aktivitas fisik dan mental (Sardiman, 2010: 100). Dalam kegiatan belajar, kedua aktivitas itu harus selalu berkaitan. Sehubungan dengan hal ini, Piaget dalam Sardiman (2010: 100) menjelaskan bahwa seorang anak akan berpikir sepanjang dia berbuat. Tanpa perbuatan, berarti anak itu tidak berpikir. Oleh karena itu, agar anak berpikir sendiri, maka harus diberi kesempatan untuk berbuat sendiri. Berpikir pada taraf verbal baru akan timbul setelah anak itu berpikir pada taraf perbuatan. Dengan demikian, jelas bahwa aktivitas memiliki arti luas, baik yang bersifat fisik/jasmani maupun mental/rohani. Kaitan antara keduanya akan membuahkan aktivitas belajar yang optimal.
Sekolah merupakan salah satu pusat kegiatan belajar. Dengan demikian, sekolah merupakan tempat untuk mengembangkan aktivitas. Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh peserta didik di sekolah. Aktivitas peserta didik tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang lazim terdapat di sekolah-sekolah tradisional. Paul B. Diedrich dalam Sardiman (2010: 101) membuat daftar 177 macam kegiatan peserta didik yang digolongkan menjadi delapan sebagai berikut:
a. Visual activities, misalnya membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, maupun pekerjaan orang lain.
b. Oral activities, misalnya menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, dan interupsi.
c. Listening activities, misalnya mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik, dan pidato.
d. Writing activities, misalnya menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin.
e. Drawing activities, misalnya menggambar, membuat grafik, peta, dan diagram.
f. Motor activities, misalnya melakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, dan beternak.
g. Mental activities, misalnya menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, dan mengambil keputusan.
h. Emotional activities, misalnya menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup.
Dengan klasifikasi aktivitas seperti diuraikan di atas, menunjukkan bahwa aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariasi. Jika berbagai macam aktivitas tersebut dapat diciptakan di sekolah, maka sekolah-sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan, dan benar-benar menjadi pusat aktivitas belajar yang optimal. Kreativitas guru sangat dibutuhkan agar dapat merencanakan aktivitas peserta didik yang sangat bervariasi tersebut.